Sabtu, 14 Desember 2013

Kebudayaan Upacara Yadnya Kasada (Kasodo) Masyarakat Tengger



Tak berhentinya mengagumi keindahan alam gunung bromo yang begitu megah dengan ketinggian 2.400 meter di atas permukaan laut dan  kawahnya yang masih aktif mengepulkan asap putih dengan bau belerang yang khas, selain itu dengan keberadaan suku tengger yang tinggal di kaki gunung bromo, memiliki daya tarik tersendiri dengan ciri khasnya mengenakan sarung dengan topi kupluknya.  


Pada tahun 1990 suku tengger tercatat berjumlah 50 ribu yang tinggal dilereng gunung Semeru dan disekitar kaldera. Mereka sangat dihormati oleh penduduk sekitar karena mereka sangat memegang teguh budaya mereka dengan hidup jujur dan tidak iri hati. Konon Suku tengger merupakan keturunan Roro Anteng (putri Raja Majapahit) dan Joko Seger (putera Brahmana). Bahasa daerah yang mereka gunakan sehari hari adalah bahasa jawa kuno. Mereka tidak memiliki kasta bahasa, sangat berbeda dengan Bahasa jawa yang dipakai umumnya yang mempunyai tingkatan bahasa.
Masyarakat Tengger dianggap sebagai abdi kerajaan Majapahit, konon wilayah yang mereka huni merupakan tempat yang suci. Mayoritas masyarakat tengger beragama hindu dan setahun sekali mereka mengadakan upacara yadnya Kasada (Kasodo). Upacara ini berlokasi di sebuah Pura Luhur Poten yang berada di bawah kaki gunung bromo dan dilanjutkan ke puncak Gunung Bromo. Upacara ini dilakukan pada tengah malam hingga dini hari setiap bulan purnama di bulan Kasodo menurut penanggalan jawa.
Asal mula upacara Kasada terjadi beberapa abad yang lalu. Pada masa pemerintahan Dinasti Brawijaya dari Kerajaan Majapahit. Sang permaisuri dikaruniai seorang anak perempuan yang diberi nama Roro Anteng, setelah menjelang dewasa sang putri mendapat pasangan seorang pemuda dari Kasta Brahma bernama Joko Seger.
Setelah menikah pasangan Roro Anteng dan Joko Seger mendiami dan menjadi penguasa kawasan pegunungan tengger, dari waktu kewaktu kehidupan masyarakat tengger hidup dengan damai dan makmur, tapi tidak dengan yang dialami oleh sang penguasa, karena sudah sekian lama kedua pasangan tersebut tidak di karuniai sorang putra. Beranjak dari itu Joko Seger memutuskan untuk bersemedi di kawah gunung bromo untuk memohon dikaruniai anak. Setelah beberapa lama bersemedi terdengarlah suara gaib yang intinya permohonan mereka akan terkabulkan tapi dengan syarat setelah mendapatkan keturunan kelak, anak bungsunya harus di korbankan ke kawah gunung bromo, pasangan Roro Anteng dan Joko Seger pun menyanggupinya. Setelah mendapatkan 25 orang putra dan putri pasangan Roro Anteng dan Joko Seger mengingkari janji untuk mengorbankan putra bungsunya, yang mengakibatkan sang Dewa murka dan malapetaka pun terjadi, gunung bromo pun menyemburkan api dan menjilat putra bungsunya, Kusuma masuk ke kawah gunung bromo, bersamaan dengan lenyapnya Kusuma terdengarlah suara gaib Kusuma yang mengatakan dirinya ikhlas dijadikan korban dan meminta para saudaranya untuk hidup damai dan tenteram, serta mengingatkan untuk mempersembahkan sesajen kepada Sang Hyang Widi setiap bulan Kasada pada hari ke-14 di kawah Gunung Bromo.
Berdasar dari legenda ini, masyarakat tengger melakukan upacara kasada secara turun temurun yang diadakan di Pura Luhur Poten dan kawah gunung bromo.
Upacara Yadnya Kasada
Pada malam ke-14 bulan Kasada Masyarakat Tengger penganut Agama Hindu (Budha Mahayana menurut Parisada Hindu Jawa Timur) berbondong-bondong menuju puncak gunung bromo, dengan membawa ongkek yang berisi sesaji dari berbagai hasil pertanian, ternak, lalu dilemparkan ke kawah gunung bromo sebagai sesaji kepada Dewa Bromo yang dipercayainya bersemayam di Gunung Bromo. Upacara korban ini memohon agar masyarakat Tengger mendapatkan berkah dan diberi keselamatan oleh Sang Hyang Widi.


Upacara Kasada diawali dengan pengukuhan sesepuh Tengger dan pementasan sendratari Roro Anteng Joko Seger di panggung terbuka Desa Ngadisari. Kemudian tepat pada pukul 24.00 dini hari diadakan pelantikan dukun dan pemberkatan umat di Pura Luhur Poten Gunung Bromo. Dukun bagi masyarakat Tengger merupakan pemimpin umat dalam bidang keagamaan, yang biasanya memimpin upacara-upacara ritual.
Setelah upacara selesai sekitar pukul 04.00 masyarakat tengger mulai bersiap untuk membawa ongkek/wadah yang berisi sesaji untuk dibawa ke kawah gunung bromo. Pukul 05.00 tepat masyarakat pembawa ongkek mulai menaiki tangga menuju puncak gunung bromo. Ongkek yang berisi sesaji tersebut mulai dilemparkan ke dalam kawah sebagai simbol rasa terima kasih mereka terhadap sang Hyang Widi atas ternak dan pertania yang berlimpah. Sesaji tersebut berupa buah-buahan, hasil pertanian serta hasil ternak.
Pemandangan yang tak kalah menarik terdapatnya orang-orang didalam kawah dengan membentangkan kain dengan harapan mendapatkan sesaji yang dilemparkan penduduk. 

Referansi :

0 komentar:

Posting Komentar