Tak
berhentinya mengagumi keindahan alam gunung bromo yang begitu megah dengan ketinggian 2.400 meter di
atas permukaan laut dan
kawahnya yang masih aktif mengepulkan asap putih dengan bau belerang
yang khas, selain itu dengan keberadaan suku tengger yang tinggal di kaki
gunung bromo, memiliki daya tarik tersendiri dengan ciri khasnya mengenakan
sarung dengan topi kupluknya.
Pada tahun 1990 suku tengger
tercatat berjumlah 50 ribu yang tinggal dilereng gunung Semeru dan disekitar
kaldera. Mereka sangat dihormati oleh penduduk sekitar karena mereka sangat
memegang teguh budaya mereka dengan hidup jujur dan tidak iri hati. Konon
Suku tengger merupakan keturunan Roro Anteng (putri Raja Majapahit) dan Joko
Seger (putera Brahmana). Bahasa daerah yang mereka gunakan sehari hari adalah
bahasa jawa kuno. Mereka tidak memiliki kasta bahasa, sangat berbeda dengan
Bahasa jawa yang dipakai umumnya yang mempunyai tingkatan bahasa.
Masyarakat Tengger dianggap sebagai abdi kerajaan Majapahit, konon
wilayah yang mereka huni merupakan tempat yang suci. Mayoritas masyarakat
tengger beragama hindu dan setahun sekali mereka mengadakan upacara yadnya
Kasada (Kasodo). Upacara ini berlokasi di sebuah Pura Luhur Poten yang berada
di bawah kaki gunung bromo dan dilanjutkan ke puncak Gunung Bromo. Upacara ini
dilakukan pada tengah malam hingga dini hari setiap bulan purnama di bulan
Kasodo menurut penanggalan jawa.
Asal mula upacara
Kasada terjadi beberapa abad yang lalu. Pada masa pemerintahan Dinasti Brawijaya dari Kerajaan Majapahit. Sang
permaisuri dikaruniai seorang anak perempuan yang diberi nama Roro Anteng,
setelah menjelang dewasa sang putri mendapat pasangan seorang pemuda dari Kasta
Brahma bernama Joko Seger.
Setelah menikah pasangan
Roro Anteng dan Joko Seger mendiami dan menjadi penguasa kawasan pegunungan
tengger, dari waktu kewaktu kehidupan masyarakat tengger hidup dengan damai dan
makmur, tapi tidak dengan yang dialami oleh sang penguasa, karena sudah sekian
lama kedua pasangan tersebut tidak di karuniai sorang putra. Beranjak dari itu
Joko Seger memutuskan untuk bersemedi di kawah gunung bromo untuk memohon
dikaruniai anak. Setelah beberapa lama bersemedi terdengarlah suara gaib yang
intinya permohonan mereka akan terkabulkan tapi dengan syarat setelah
mendapatkan keturunan kelak, anak bungsunya harus di korbankan ke kawah gunung
bromo, pasangan Roro Anteng dan Joko Seger pun menyanggupinya. Setelah
mendapatkan 25 orang putra dan putri pasangan Roro Anteng dan Joko Seger
mengingkari janji untuk mengorbankan putra bungsunya, yang mengakibatkan sang
Dewa murka dan malapetaka pun terjadi, gunung bromo pun menyemburkan api dan
menjilat putra bungsunya, Kusuma masuk ke kawah gunung bromo, bersamaan dengan
lenyapnya Kusuma terdengarlah suara gaib Kusuma yang mengatakan dirinya ikhlas
dijadikan korban dan meminta para saudaranya untuk hidup damai dan tenteram,
serta mengingatkan untuk mempersembahkan sesajen kepada Sang Hyang Widi setiap
bulan Kasada pada hari ke-14 di kawah Gunung Bromo.
Berdasar dari legenda ini,
masyarakat tengger melakukan upacara kasada secara turun temurun yang diadakan
di Pura Luhur Poten dan kawah gunung bromo.
Upacara Yadnya Kasada
Pada malam ke-14 bulan
Kasada Masyarakat Tengger penganut Agama Hindu (Budha Mahayana menurut Parisada
Hindu Jawa Timur) berbondong-bondong menuju puncak gunung bromo, dengan membawa
ongkek yang berisi sesaji dari berbagai hasil pertanian, ternak, lalu
dilemparkan ke kawah gunung bromo sebagai sesaji kepada Dewa Bromo yang
dipercayainya bersemayam di Gunung Bromo. Upacara korban ini memohon agar
masyarakat Tengger mendapatkan berkah dan diberi keselamatan oleh Sang Hyang
Widi.
Upacara Kasada diawali dengan pengukuhan sesepuh Tengger dan pementasan
sendratari Roro Anteng Joko Seger di panggung terbuka Desa Ngadisari. Kemudian
tepat pada pukul 24.00 dini hari diadakan pelantikan dukun dan pemberkatan umat
di Pura Luhur Poten Gunung Bromo. Dukun bagi masyarakat Tengger merupakan
pemimpin umat dalam bidang keagamaan, yang biasanya memimpin upacara-upacara
ritual.
Setelah upacara selesai sekitar pukul 04.00 masyarakat tengger mulai
bersiap untuk membawa ongkek/wadah yang berisi sesaji untuk dibawa ke kawah
gunung bromo. Pukul 05.00 tepat masyarakat pembawa ongkek mulai menaiki tangga
menuju puncak gunung bromo. Ongkek yang berisi sesaji tersebut mulai
dilemparkan ke dalam kawah sebagai simbol rasa terima kasih mereka terhadap
sang Hyang Widi atas ternak dan pertania yang berlimpah. Sesaji tersebut berupa
buah-buahan, hasil pertanian serta hasil ternak.
Pemandangan yang tak kalah menarik terdapatnya orang-orang didalam
kawah dengan membentangkan kain dengan harapan mendapatkan sesaji yang
dilemparkan penduduk.
Referansi :
0 komentar:
Posting Komentar