POLITIK
NASIONAL PADA MASA ORDE BARU DAN REFORMASI
Pada Masa Orde Baru
Jadi
politik Orde Baru adalah fenomena kompleks sehingga jauh dari monolitik. Dengan
demikian ada manfaatnya melihat Orde Baru dengan melakukan pentahapan seperti
di lakukan oleh Andreas Vickers seorang associate professor di Universitas
Wollongong Australia. Vikers membagi sejarah Orde Baru dalam tiga babak yang
saling berkaitan satu sama lain, yaitu fase Honeymoon, Stalinist dan fase
Keterbukaan.
Vikers
tidak memasukkan secara khusus periode krisis pemerintahan Orde Baru, terutama
pada tahun-tahun terakhir menjelang kejatuhan rezim soeharto. Selayaknya masa
krisis ini dicatat tersendiri, sehingga genapnya periodesiasi politik masa Orde
Baru itu meliputi sebagai berikut
a.
Periode Honeymoon
Fase pertama, mengutip pendapat Umar Kayam,
Vikers menyebut periode 1967-1974 sebagai fase Honeymoon. Pada periode ini
sistem politik di negeri ini relative terbuka. Bangsa Indonesia bisa menikmati
kebebasan pers. Militer tidak mendominasi banyak aspek pemerintahan.
Sebaliknya, militer menjalin aliansi dengan mahasiswa, kelompok islam dan
sejumlah tokoh politik pada masa soekarno. Soeharto menjalin hubungan erat
sehingga menjadi jalinan triumvirate yang kuat dengan Adam malik yang dikenal sebagai
tokoh politik kekirian ( Tan Malakaist) dan Hamengkubuwono IX (9) yang dikenal
sebagai Soekarnois liberal.
Periode ini di akhiri dengan peristiwa Malari
yang sertai dengan dimulainya tekanan atas kekuatan mahasiswa di satu pihak dan
di lain pihak sebuah upaya Soeharto membangun kekuatan dari tekanan lawan
politik di tubuh militer. Arus politik pada masa itu memunculkan tokoh popular,
Ali Moertopo dengan para pengikutnya yang menyebar di hamper semua posisi
politik dan birokrasi. Bersamaan dengan itu, arus politik membawa Indonesia
untuk melakukan pengintegrasian Timor Timur menjadi bagian dari Indonesia pada
Tahun 1976.
b. Periode
Stalinist
Fase kedua adalah periode
tahun 1974-1988/1989 yang disebut sebagai fase Stalinist. Pada fase ini
otoritarianisme menjadi cirri yang mengedepankan dalam arena kepolitikan di
Indonesia. Pemerintahan menerapkan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus,
Menteri P dan K mengeluarkan SK 028/1978 dan Kopkamtib mengeluarkan Skep
02/Kopkam/1978 yang membekukan kegiatan Dewan Mahasiswa, menyusul kemudia
dikeluarkan SK Menteri P dan K No.0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan
Kampus (NKK) yang disertai pula dengan perangkat BKK.
Kebijakan normalisasi
kehidupan kampus itu diterapkan dengan dalih agar mahasiswa menjadi man of
analysis dan bukan moral force atau apalagi sebagaiman political
force. Dalam praktik, kebijakan itu berhasil mendepolitisasi mahasiswa. Tidak
ada gerakan mahasiswa pada periode ini, kecuali gerakan-gerakan yang lingkup
dan isi perjuangannya bersifat lokal, seperti gerakan protes mahasiswa terhadap
pembangunan Waduk kedugombo, penurun SPP, protes pemecatan Arief Budiman di
Universitas Satyawancana, protes mahasiswa Ujungpadang atas kenaikan tarif
angkot.
Pada fase ini militer
bergandengan erat dengan Birokrasi sehingga menjadi instrument politik penguasa
Orde Baru yang sangat tangguh. Lawan-lawan politik Soeharto dimarginalisasikan.
Pemerintahan memberlakukan indoktrinasi ideology pancasila dalam bahasa
penguasa melalui penataran P4, pengasastunggalan organisasi politik,
kemasyarakatan maupun keagamaan; pemberlakuan politik masa
mengambang (floating mass) setelah penasehat politik soeharto, Ali
Moertopo pertama kali berbicara tentang konsep tersebut.
c. Periode
keterbukaan
Periode ini berlangsung pada akhir 1980-an. Pada
masa ini mulai muncul kekuatan yang selama itu berseberangan dengan kekuasaan.
Di parlemen muncul “interupsi” dari salah seorang anggota fraksi ABRI (sekarang
TNI dan POLRI). Ada yang bilang periode ini merupakan saat-saat orang mengucapkan
“good-bye” untuk menjadi manusia “yes-men”, menunggu petunjuk Bapak presiden.
Dalam dunia ekonomi pemerintah mengeluarkan sejumlah deregulasi, yang
mempercepat arus massuknya modal asing. Investasi dunia perbankan menjadi
dipermudah.
Bank tumbuh bukan hanya di kota tetapi sampai ke
kecamatan-kecamatan. Dengan modal Rp 50 juta bisa membuat bank, Bank
perkreditan Rakyat (BPR). Bersamaan dengan itu, perkembangan sejarah politik
internasional ditandai dengan munculnya keterbukaan ( glasnost) dan reformasi
(perestroika) yang digulirkan oleh presiden Uni soviet, Michael Gorbachove.
d. Periode
krisis
Puncak dari keterbukaan yang berlangsung di
Indonesia adalah masa krisis. Dimulai dengan krisis moneter. Kurs Rupiah di
mata dolar AS merosot tajam. Ibarat kapal, negeri ini sedang dihantam ombak
besar. Sejumlah petinggi negeri ini mengatakan tidak ada masalah, karena
fundamental ekonomi kita cukup kuat. Ternyata tidak demikian. Indonesia terus
diterpa badai moneter, kurs rupiah benar-benar tidak terkendali, sampai lebih
Rp 10 ribu per dolar AS. Krisis ini disertai dengan krisis sosial politik yang
tak terkendali. Kelompok kritis, dosen-dosen senior perguruan tinggi negeri di
Indonesia “turun gunung” dan gelombang demonstrasi mahasiswa pecah dimana-mana.
Rezim soeharto benar-benar sedang di terpa badai, dan akhirnya menyerahkan
Kekuasaan kepada BJ. Habibie pada tahun 1998. Sejak itu berakhirlah rezim
soeharto, dan dimulailah era baru, era reformasi. Indonesia memulai lembaran
baru dalam sejarah politik, dengan awal yang tidak mudah. Tertatih-tatih bangsa
ini, mengatasi kerusuhan, pembakaran, perusakan, separatism, hingga
penjambretan, penodong dan berbagai bentuk kriminalitas yang tak terkendali
oleh aparat.
Pada Masa Reformasi
a. Pemerintahan
Habibie : Presiden Habibie segera membentuk sebuah kabinet. Salah satu
tugas pentingnya adalah kembali mendapatkan dukungan dari Dana Moneter
Internasional dan komunitas negara-negara donor untuk program pemulihan
ekonomi. Dia juga membebaskan para tahanan politik dan mengurangi kontrol pada
kebebasan berpendapat dan kegiatan organisasi.
b.
Pemerintahan Wahid : Pemilu untuk MPR, DPR, dan DPRD diadakan
pada 7 Juni1999. PDI Perjuangan pimpinan putri Soekarno, Megawati
Sukarnoputri keluar menjadi pemenang pada pemilu parlemen dengan mendapatkan
34% dari seluruh suara; Golkar (partai Soeharto–sebelumnya selalu
menjadi pemenang pemilu-pemilu sebelumnya) memperoleh 22%; Partai
Persatuan Pembangunan pimpinan Hamzah Haz 12%; Partai
Kebangkitan Bangsa pimpinan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) 10%.
Pada Oktober 1999, MPR melantik Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan
Megawati sebagai wakil presiden untuk masa bakti 5 tahun. Wahid membentuk
kabinet pertamanya, Kabinet Persatuan Nasional pada awal November
1999 dan melakukan reshuffle kabinetnya pada Agustus 2000.
Pemerintahan Presiden Wahid meneruskan proses demokratisasi dan perkembangan
ekonomi di bawah situasi yang menantang. Di samping ketidakpastian ekonomi yang
terus berlanjut, pemerintahannya juga menghadapi konflik antar etnis dan antar
agama, terutama di Aceh, Maluku, danPapua. Di Timor Barat,
masalah yang ditimbulkan rakyat Timor Timur yang tidak mempunyai tempat tinggal
dan kekacauan yang dilakukan para militan Timor Timur pro-Indonesia
mengakibatkan masalah-masalah kemanusiaan dan sosial yang besar. MPR yang
semakin memberikan tekanan menantang kebijakan-kebijakan Presiden Wahid,
menyebabkan perdebatan politik yang meluap-luap.
c. Pemerintahan
Megawati : Pada Sidang Umum MPR pertama pada Agustus 2000, Presiden Wahid
memberikan laporan pertanggung jawabannya. Pada 29 Januari2001, ribuan
demonstran menyerbu MPR dan meminta Presiden agar mengundurkan diri dengan
alasan keterlibatannya dalam skandal korupsi. Di bawah tekanan dari MPR untuk
memperbaiki manajemen dan koordinasi di dalam pemerintahannya, dia mengedarkan
keputusan presiden yang memberikan kekuasaan negara sehari-hari kepada wakil
presiden Megawati. Megawati mengambil alih jabatan presiden tak lama
kemudian.Kabinet pada masa pemerintahan Megawati disebut dengan kabinet gotong
royong.
d. Pemerintahan
Yudhoyono; Pada 2004, pemilu satu hari terbesar di dunia diadakan
dan Susilo Bambang Yudhoyono tampil sebagai presiden baru Indonesia.
Pemerintah baru ini pada awal masa kerjanya telah menerima berbagai cobaan dan
tantangan besar, seperti gempa bumi besar di Aceh dan Nias pada
Desember 2004 yang meluluh lantakkan sebagian dari Aceh serta gempa bumi
lain pada awal 2005 yang mengguncang Sumatra.
Pada 17 Juli 2005, sebuah kesepakatan
bersejarah berhasil dicapai antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan
Aceh Merdeka yang bertujuan mengakhiri konflik berkepanjangan selama 30
tahun di wilayah Aceh.
PELAKSANAAN OTONOMI
DAERAH MENURUT UUD DI INDONESIA
Pengertian otonom secara bahasa
adalah berdiri sendiri atau dengan pemerintahan sendiri, Sedangkan daerah
adalah suatu wilayah atau lingkungan pemerintah. Dengan demikian pengertian
secara istilah otonomi daerah adalah wewenang atau kekuasaan pada suatu wilayah
atau daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah atau daerah
masyarakat itu sendiri. Pengertian yang lebih luas lagi adalah wewenang atau kekuasaan
pada suatu wilayah atau daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan
wilayah atau daerah masyarakat itu
sendiri mulai dari ekonomi, politik, dan pengaturan perimbangan keuangan
termasuk pengaturan sosial, budaya, dan ideologi yang sesuai dengan tradisi adat
istiadat daerah lingkungannya.
Terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan dalam UUD
1945 berkenaan dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di
Indonesia, yaitu:
1.
Nilai Unitaris, yang
diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak mempunyai kesatuan
pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara ("Eenheidstaat"),
yang berarti kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik
Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintahan; dan
2.
Nilai dasar Desentralisasi
Teritorial, dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya
sebagaimana tersebut di atas maka jelaslah bahwa Pemerintah diwajibkan untuk
melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi di bidang ketatanegaraan.
Dikaitkan dengan dua nilai dasar tersebut di atas,
penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia berpusat pada pembentukan
daerah-daerah otonom dan penyerahan/pelimpahan sebagian kekuasaan dan
kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus
sebagian sebagian kekuasaan dan kewenangan tersebut. Adapun titik berat
pelaksanaan otonomi daerah adalah pada Daerah Tingkat II (Dati II) dengan
beberapa dasar pertimbangan:
1.
Dimensi Politik, Dati II dipandang kurang mempunyai
fanatisme kedaerahan sehingga risiko gerakan separatisme dan peluang berkembangnya
aspirasi federalis relatif minim;
2.
Dimensi Administratif,
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat relatif dapat
lebih efektif;
3.
Dati II adalah daerah "ujung tombak"
pelaksanaan pembangunan sehingga Dati II-lah yang lebih tahu kebutuhan dan
potensi rakyat di daerahnya.
Atas dasar itulah, prinsip otonomi yang dianut adalah:
1.
Nyata, otonomi secara nyata diperlukan
sesuai dengan situasi dan kondisi obyektif di daerah;
2.
Bertanggung jawab, pemberian otonomi
diselaraskan/diupayakan untuk memperlancar pembangunan di seluruh pelosok tanah
air; dan
3.
Dinamis, pelaksanaan otonomi selalu menjadi
sarana dan dorongan untuk lebih baik dan maju
Otonomi daerah sesungguhnya bukanlah hal yang baru di
Indonesia. Sampai saat ini Indonesia sudah beberapa kali merubah peraturan
perundang – undangan tentang pemerintahan daerah yang menandakan bagaimana
otonomi daerah di Indonesia berjalan secara dinamis. Semenjak awal kemerdekaan
sampai sekarang telah terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang kebijakan Otonomi Daerah. UU 1/1945 menganut sistem otonomi daerah
rumah tangga formil. UU 22/1948 memberikan hak otonomi dan medebewind yang
seluas-luasnya kepada Daerah. Selanjutnya UU 1/1957 menganut sistem
otonomi ril yang seluas-luasnya. Kemudian UU 5/1974 menganut prinsip otonomi
daerah yang nyata dan bertanggung. UU 22/1999 menganut prinsip otonomi daerah
yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Sedangkan saat ini di bawah UU 32/2004 dianut
prinsip otonomi seluas–luasnya, nyata dan bertanggung jawab.
Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia masih
banyak kekurangan yang mewarnai pelaksanaan otonomi daerah seperti kurangnya
koordinasi pusat dan daerah serta masalah–masalah lain yang kemudian berdampak
terhadap masyarakat itu sendiri. Keinginan untuk mewujudkan suatu
pemerintahan yang baik melalui otonomi daerah memang bukanlah hal yang mudah,
masih banyak hal yang perlu diperhatikan untuk dapat menciptakan otonomi daerah
yang maksimal demi menciptakan pemerintahan khususnya pemerintahan daerah yang
lebih baik.
Referensi:
wikipedia
http://dianpuspaharuniasari.wordpress.com/2013/06/26/politik-dan-strategi-nasional-indonesia/